Syok
Hipovolemik e.c. Gastroenteritis
Agung Ganjar Kurniawan
102010169
Mahasiswa
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara no.6 -
Jakarta Barat
Pendahuluan
Syok adalah suatu
sindrom klinis yang terjadi akibat gangguan hemodinamik dan metabolik ditandai
dengan kegagalan sistem sirkulasi untuk mempertahankan perfusi yang adekuat ke
organ-organ vital tubuh. Hal ini muncul akibat kejadian pada hemostasis tubuh
yang serius, perdarahan masif, trauma atau luka bakar (syok hipovolemik),
infark miokard luas atau emboli paru (syok kardiogenik), sepsis akibat bakteri
yang tidak terkontrol (syok septik), tonus vasomotor yang tidak adekuat (syok
neurogenik) atau respon imun (syok anafilaktik).
Syok hipovolemik dapat merupakan akibat dari
kehilangan cairan yang signifikan (selain darah). Dua contoh syok hipovolemik
yang terjadi akibat kehilangan cairan, antara lain gastroenteritis refrakter
dan luka bakar yang luas. Terjadinya kehilangan cairan dapat di bagi atas
cairan eksternal dan internal. Kehilangan cairan eksternal terutama terjadi
pada gastroenteritis, walaupun demikian kehilangan cairan eksternal ini juga
dapat timbul dari sengatan matahari, poli uria, dan luka bakar. Sedangkan
kehilangan cairan internal di sebabkan oleh sejumlah cairan yang berkumpul pada
ruangan peritoneal dan pleura. Kehilangan cairan eksternal ini juga di sertai
dengan kehilangan elektrolit.
Pembahasan
Anamnesis
Beberapa hal yang harus diperhatikan selama
anamnesis :
1)
Identitas pasien : nama lengkap
pasien,umur, tanggal lahir, jenis kelamin, nama orang tua atau suami atau istri
atau penanggung jawab, alamat, pendidikan
pekerjaan suku bangsa dan agama.
2)
Keluhan utama :keluhan yang dirasakan
pasien yang membawa pasien pergi ke dokter atau mencari pertolongan.
·
Pada
kasus : pasien dibawa oleh suaminya karena kesadaran menurun.
3)
Riwayat penyakit sekarang :
·
Sejak kapan keluhannya berlangsung? dan berapa lama?
·
Apakah keluhan baru pertama kali atau
sudah berulang kali?
·
Apakah ada faktor pencetus terjadinya
keluhan sekarang?
·
Apakah punya kebiasaaan minum alcohol atau merokok?
·
Apa yang dimaksud pasien dengan diare
yang dialaminya? Sering buang air besar? Buang air besar lunak? Encer? Apakah
volume tinja benar-benar meningkat? Apakah sangat berair? Adakah makanan yang
tidak tercerna dalam tinja?
·
Apa warna dan konsistensi tinja?
Adakah darah, lender atau nanah? Apakah tinja pucat, apakah mengapung (akibat
steatorea)?
·
Adakah gejala lain yang berhubungan
seperti muntah atau nyeri abdomen?
·
Adakah gejala sistemik seperti demam, pusing, ruam atau atralgia?
·
Adakah tanda-tanda yang menunjukan
malabsorpsi (misalnya penurunan berat badan, gejala anemia)?
·
Pernahkah pasien berpergian baru-baru ini?
4)
Riwayat penyakit dahulu : mengetahui
kemungkinan-kemungkinan adanya hubungan antara penyakit yang pernah diderita
dengan penyakitnya sekarang.
·
Adakah riwayat diare sebelumnya,
penyakit saluran cerna yang diketahui, atau operasi perut?
·
Obat-obatan yang pernah dikonsumsi yang mungkin menyebabkan diare? Atau yang masih dikonsumsi sampai
sekarang?
5) Riwayat
penyakit dalam keluarga : apakah ada dikeluarga
yang mempunyai radang usus atau keganasan saluran cerna.
Pemeriksaan
Pemeriksaan Fisik
1) Kedaaan umum
Dapat dilihat melalui ekspresi
wajahnya,gayanya berjalan dan tanda-tanda spesifik lain yang segera tampak
begitu kita melihat pasien. Keadaan
umum pasien dibagi atas tampak sakit ringan atau sakit sedang atau sakit berat. Keadaan umum pasien seringkali dapat menilai
apakah keadaan pasien dalam keadaan darurat medik atau tidak.1,2
Pada
kasus: keadaan umum pasien tampak sakit
berat.
2) Kesadaran
Tingkat kesadaran :
a. Kompos
mentis: Sadar sepenuhnya, baik terhadap dirinya maupun lingkungannya.
Pasien dapat menjawab pertanyaan pemeriksa dengan baik.
b. Apatis: Pasien tampak
segan dan acuh tak acuh terhadap lingkungannya.
c. Delirium : Penurunan
kesadaran disertai kekacauan motorik dan siklus tidur-bangun yang terganggu.
Pasien tampak gaduh, gelisah, kacau, disorientasi, dan meronta-ronta
d. Somnolen: Keadaan mengantuk yang masih dapat pulih bila dirangsang, tapi
bila rangsang berhenti, pasien akan tertidur kembali.
e. Sopor: Keadaan
mengantuk yang dalam. Bisa dibangunkan dengan rangsang kuat (rangsang nyeri),
tapi pasien tidak bangun sempurna dan tidak dapat memberikan jawabab verbal
dengan baik.
f.
Koma: Penurunan kesadaran yang sangat dalam, tidak ada gerakan spontan
dan tidak daa respon terhadap rangsang nyeri.1,2
Pada
kasus: kesadaran pasien sopor
karena tidak bisa bicara atau marah bila dicubit.
Dengan skala Glasgow Coma
Scale dapat dinilai kesadaran pasien.
Glasgow mencoba mengkaitkan antara kesadaran seseorang dengan reflek fisik.
Jika fisiknya tidak bisa merespon stimulasi dengan baik, maka secara bertahap
kesadaran orang tersebut dianggap menurun, sampai pada suatu batas terendahnya
yaitu koma alias mati suri. Total nilai antara respon mata, verbal, dan motorik
diberi angka 15. Jika seseorang memperoleh nilai akumulatif 15 berarti orang
tersebut berada dalam kondisi 'sadar' alias 'terjaga' penuh. Jika di bawah angka
8, ia sudah dikategorikan sebagai koma. 1,2
Derajat berat ringannya dapat diukur
dengan Glasgow Coma Scale (GCS) dengan menjumlahkan: E + M + V = (score: 3 – 15
)
Tabel 1 : Glasgow Coma Scale pada Orang
Dewasa.
Respons
|
Jenis
Respons
|
Poin
|
Eye
Opening (E)
|
Spontan
mata berkedip
|
4
|
|
Terbuka
dengan perintah bicara/jeritan
|
3
|
|
Terbuka
pada rangsangan sakit
|
2
|
|
Tidak
ada respons dengan suara & rasa sakit
|
1
|
Verbal
(V)
|
Percakapan
terorientasi
|
5
|
|
Bicara
membingungkan, dapat menjawab pertanyaan
|
4
|
|
Respons
tidak jelas, kata-kata tidak cocok
|
3
|
|
Kata-kata
sembarangan
|
2
|
|
Tidak ada
respons terhadap pertanyaan
|
1
|
Motorik
(M)
|
Melakukan
gerakan yang diperintahkan
|
6
|
|
Tahu
lokasi rangsang sakit (rasa sakit lokal)
|
5
|
|
Tidak
merasakan sakit
|
4
|
|
Fleksus
tidak normal, decorticate posture (fleksi
sendi siku)
|
3
|
|
Ekstensor
abnormal (rigit), decerebrate posture
|
2
|
|
Tidak ada respons nyeri
|
1
|
Keterangan
Ringan : 13 – 15 poin Berat : 3-8 poin
Moderate
: 9-12 poin Koma : < 8 poin
3) Tanda-tanda vital
a)
Suhu tubuh
b)
Tekanan Darah (TD)
c)
Nadi (A.Frekuensi nadi ,N : 80x/menit
, >100x/menit : takikardia, < 60 :
bradikardia.B. Irama denyut nadi, reguler atau tidak reguler).
d)
Frekuensi pernapasan (N :18-20
x/menit).
e)
Dilihat tanda-tanda
dehidrasi :
·
Periksa turgor kulit
·
Periksa membran mukosa, warna dan suhu kulit
·
Periksa JVP, meningkat atau menurun.
Pada
kasus : Tekanan darah 70/40 mmHg, Nadi:
112 x/menit, Suhu: 360C , Nafas 26 x/menit.
4) Pemeriksaan Abdomen
a)
Inspeksi
Setelah melakukan inspeksi menyeluruh
dan keadaan sekitarnya dengan cepat, perhatikan abdomen untuk memeriksa hal
berikut ini :
·
Apa bentuk abdomen?
·
Apa warna kulit, lesi kulit,
tonjolan/massa?
·
Apakah ada bekas luka operasi?
·
Apakan pasien menderita iritasi
peritoneum, yaitu pergerakan abdomen menjadi terbatas?
·
Apakah terdapat gerakan peristaltik
yang dapat terlihat?
Peristaltik yang terlihat dapat
dijumpai pada individu normal yang kurus, tetapi pada orang yang gemuk, gerakan
peristaltik hanya terlihat di sebelah proksimal dari letak lesi obstruktif
usus.
b)
Palpasi
Abdomen harus diperiksa secara
sistematis, terutama jika pasien menderita nyeri abdomen. Selalu tanyakan letak
nyeri yang dirasa maksimal dan periksa bagian tersebut paling akhir.
Lakukan palpasi pada setiap kuadran
secara berurutan, awalnya tanpa penekanan yang berlebihan dan dilanjutkan
dengan palpasi secara dalam (jika tidak terdapat area nyeri yang diderita atau
diketahui). Kemudian, lakukan palpasi secara khusus terhadap beberapa organ.
Ketika meraba organ intrabdomen yang
membesar, bagian tepi organ lebih sering teraba daripada “badan” organ, akan
tetapi konsistensi antara organ tersebut dengan organ disekitarnya seringkali
mudah dibedakan hanya dengan meraba bagian tepinya. Tepi organ dapat diketahui
dengan lebih mudah jika pemeriksa meminta pasien untuk mengambil nafas agak
dalam sehingga organ tersebut bergerak.
Bila terdapat pembengkakan yang
abnormal, dan pada waktu palpasi menimbulkan rasa nyeri, tentukan keadaan dan
karakteristiknya.
c)
Perkusi
Perkusi berguna (khususnya pada pasien
yang gemuk) untuk memastikan adanya pembesaran beberapa organ , khususnya hati,
limpa, atau kandung kemih. Lakukan selalu perkusi dari daerah resonan ke daerah
pekak, dengan jari pemeriksa yang sejajar dengan bagian tepi organ.
d)
Aukultasi
Hanya pengalaman klinis yang dapat
memberitahu bising usus yang normal. Seorang pemeriksa mungkin membutuhkan
waktu selama beberapa menit sebelum dapat mengatakan dengan yakin bahwa bising
usus tidak terdengar.
Bising usus yang meningkat dapat
ditemukan pada obstruksi usus, diare, dan jika terdapat darah dalam pencernaan
yang berasal dari saluran cerna atas (keadaan yang menyebabkan peningkatkan
peningkatan peristaltik). Bising usus menurun atau menghilang ditemukan pada
ileus,perforasi, peritonitis generalisata.3
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan
laboratorium awal yang sebaiknya dilakukan antara lain:
1. Darah lengkap3
Hematokrit meningkat karna kehilangan cairan.
Leukopenia mungkin ada sebagai akibat hipersplenisme3
2. Kenaikan kadar SGOT, SGPT
3. Albumin serum menurun (Normal : 3,2-4,6 g/dL)
4. Pemeriksaan kadar elektrolit (Na, K, Cl,
HCO3): hipokalemia
5. Pemanjangan masa protrombin
6. Glukosa serum: hipoglikemi
7. Fibrinogen menurun
8. BUN meningkat
9. Kimia darah (termasuk tes fungsi hati, faal
ginjal).
Diagnosis
Syok hipovolemik merujuk kepada suatu kondisi
di mana terjadi kehilangan cairan yang mendadak hingga menyebabkan kegagalan
beberapa organ karena kurang volume sirkulasi dan perfusi yang tidak mencukupi. Syok hipovolemik dapat berhubungan dengan
dehidrasi, perdarahan internal atau eksternal, kehilangan cairan
gastrointestinal (diare atau muntah), Berdasarkan gejala yang ada pasien tersebut
mengalami diare yang menyebabkan banyak kehilangan cairan elektrolit sehingga
berakibat syok hipovolemik. Pasien
sendiri adalah kehilangan banyak cairan dan elektrolit melalui diare dan
muntah. Pasien tersebut mengeluarkan tinja kira-kira 125-150 cc/kali BAB dan
muntah 75-100 cc/ kali muntah. Dasar semua diare adalah gangguan transportasi
larutan usus, perpindahan air melalui membran usus berlangsung secara pasif dan
hal ini ditentukkan oleh aliran larutan secara aktif maupun pasif, terutama
natrium, klorida dan glukosa.4
Tanda-tanda syok
Bila syok disebabkan oleh kehilangan
darah atau cairan, tanda-tandanya adalah:
·
Penurunan tekanan darah
·
Kenaikan frekuensi nadi
·
Pucat
·
Berkeringat
·
Kulit dingin
Singkatnya,
syok telah terjadi bila pasien yang sebelumnya hangat, kering, dan dengan nadi
bagus, menjadi dingin, lembap dan pucat, dengan nadi buruk.
a. Nadi
Lihat dan awasi nadi pasien dengan
seksama, dengan memperhatikan khusus:
·
Kecepatan
·
Volume, yang menunjukkan tekanan darah
·
Irama, aritmia tidak jarang pada
anestesia, tetapi maknanya tidak selalu jelas.
b. Warna: Perhatikan tidak hanya sianosis tetapi
juga kepucatan. Ini juga dilihat pertama pada cuping telinga.
c. Kulit: Sentuh pasien untuk memperhatikan adanya keringatan dan suhu kulit.
d.
Kehilangan darah: Taksir selalu
jumlah darah yang hilang. Sekurang-kurangnya pasien dapat diklasifiksikan
sebagai: berdarah banyak, berdarah sedang, tidak berdarah banyak.
e. Pernapasan: Takipnea
adalah karakteristik dan alkalosis respiratorius sering ditemukan pada tahap awal dari syok.
Etiologi
Syok hipovolemik adalah terganggunya
system sirkulasi dari volume darah dalam pembuluh darah yang berkurang. Hal ini
bisa terjadi akibat pendaraha massif atau kehilangan plasma darah.4
Penyebab
Syok Hipovolemik
Pendarahan
|
Hematom subskapular hati
Aneurisma Aorta Pecah
Pendarahan gastrointestinal
Perlukaan berganda
|
Kehilangan Plasma
|
Luka bakar Luas
Pankreatitis
Deskuamasi Kulit
Sindrom Dumping
|
Kehilangan Cairan Ekstraselular
|
Muntah
Dehidrasi
Terapi
diuretic yang sangat agresif
Diabetis
insipidus
Insufisiensi
adrenal
|
Patofisiologi
Perdarahan akan menurunkan tekanan
pengisian pembuluh darah rata-rata dan menurunkan aliran darah balik ke
jantung. Hal inlah yang menimbulkan penurunan curah jantung. Curah jantung yang
rendah di bawah normal akan menimbulkan beberapa kejadian pada beberapa organ:
4
Mikrosirkulasi
Ketika curah jantung turun, tahanan
vaskular sistemik akan berusaha untuk meningkatkan tekanan sistemik guna
menyediakan perfusi yang cukup bagi jantung dan otak melebihi jaringan lain
seperti otot, kulit dan khususnya traktus gastrointestinal. Kebutuhan energi
untuk pelaksanaan metabolisme di jantung dan otak sangat tinggi tetapi kedua
sel organ itu tidak mampu menyimpan cadangan energi. Sehingga keduanya sangat
bergantung akan ketersediaan oksigen dan nutrisi tetapi sangat rentan bila
terjadi iskemia yang berat untuk waktu yang melebihi kemampuan toleransi
jantung dan otak. Ketika tekanan arterial rata-rata (mean arterial pressure/
MAP) jatuh hingga < 60 mmHg, maka aliran ke organ akan turun drastis dan
fungsi sel di semua organ akan terganggu.4
Neuroendokrin
Hipovolemia, hipotensi dan hipoksia
dapat dideteksi oleh baroreseptordan kemoreseptor tubuh. Kedua reseptor tadi
berperan dalam respons autonom tubuh yang mengatur perfusi serta substrak lain.
4
Kardiovaskular
Tiga variabel seperti; pengisian
atrium, tahanan terhadap tekanan (ejeksi) ventrikel dan kontraktilitas miokard,
bekerja keras dalam mengontrol volume sekuncup. Curah jantung, penentu utama
dalam perfusi jaringan, adalah hasil kali volume sekuncup dan frekuensi
jantung. Hipovolemia menyebabkan penurunan pengisian ventrikel, yang pada
akhirnya menurunkan volume sekuncup. Suatu peningkatan frekuensi jantung sangat
bermanfaat namun memiliki keterbatasan mekanisme kompensasi untuk
mempertahankan curah jantung. 4
Pulmonal
Respons dari susunan vascular
pulmonal (pulmonary vascular bed) terhadap shok berlawanan dengan susunan
vascular sistemik (systemic vascular bed), dan peningkatan relative resistensi
vascular pulmonal, terutama pada shok sepsis, dapat melewati resistensi
vascular sistemik (Systemic Vascular Resistance, SVR), yang dapat menyebabkan
gagal jantung kanan. Takipnea diinduksi-shok mengurangi volume tidal dan
menambah ruang rugi dan vetilasi menit. Hipoksia relatif yang diikuti oleh
takipnea menginduksi alkalosis respiratorik. Shok dikenal dapat menyebabkan
acute lung injury yang diikuti oleh acyte respiratory distress syndrome (ARDS).
Kelainan ini ditandai dengan edema pulmonal nonkardiogenik yang dihasilkan dari
kerusakan difus endotel kapiler pulmonal dan epitel alveolus, hipoksemia, dan
infiltrasi pulmonal bilateral difus. Hipoksemia dihasilkan dari perfusi
alveolus yang tak terventilasi. Hilangnya surfaktan dan volume paru dalam
kombinasi dengan peningkatan edema alveolar dan interstisial mengurangi
compliance paru. Usaha untuk bernafas dan kebutuhan akan oksigen otot respirasi
bertambah.4
Gastrointestinal
Akibat aliran darah yang menurun ke
jaringan intestinal, maka terjadi peningkatan absorpsi endotoksin yang
dilepaskan oleh bakteri gram negatif yang mati di dalam usus. Hal ini memicu
pelebaran pembuluh darah serta peningkatan metabolisme dan bukan memperbaiki
nutrisi sel dan menyebabkan depresi jantung. 4
Ginjal
Gagal ginjal akut adalah satu
komplikasi dari syok dan hipoperfusi, frekuensi terjadinya sangat jarang karena
cepatnya pemberian cairan pengganti. Yang banyak terjadi kini adalah nekrosis
tubular akut akibat interaksi antara syok, sepsis dan pemberian obat yang
nefrotoksik seperti aminoglikosida dan media kontras angiografi. Secara
fisiologi, ginjal mengatasi hipoperfusi dengan mempertahankan garam dan air.
Pada saat aliran darah di ginjal berkurang, tahanan arteriol aferen meningkat
untuk mengurangi laju filtrasi glomerulus, yang bersama-sama dengan aldosteron
dan vasopresin bertanggung jawab terhadap menurunnya produksi urin. 4
Manifestasi Klinik
Gejala dan tanda yang disebabkan
oleh syok hipovolemik akibat non-perdarahan
atau perdarahan adalah sama meski ada sedikit
perbedaan dalam kecepatan timbulnya syok. Respons fisiologi yang normal adalah
mempertahankan perfusi terhadap otak dan jantung sambil memperbaiki volume
darah dalam sirkulasi dengan efektif.
Disini akan terjadi peningkatan
kerja simpatis, hiperventilasi, pembuluh vena yang kolaps, pelepasan hormone
stress serta ekspansi besar guna pengisian volume pembuluh darah dengan
menggunakan cairan interstisial, intraselular dan mengurangkan produksi urin.
Hipovolemia ringan (<20% volume
darah) menimbulkan takikardia ringan dengan sedikit gejala yang tampak,
terutama pada penderita muda yang sedang berbaring.
Pada hipovolemia sedang (20-40% dari
volume darah) pasien menjadi lebih cemas dan takikardia lebih jelas, meski
tekanan darah bisa ditemukan normal pada posisi berbaring, namun dapat
ditemukan dengan jelas hipotensi ortostatik dan takikardia.
Pada hipovolemia berat maka gejala
klasik syok akan muncul, tekanan darah menurun drastic dan tak stabil walaupun
posisi berbaring, pasien menderita takikardia hebat, oliguria, agitasi atau
bingung. Perfusi ke susunan saraf pusat dipertahankan dengan baik sampai syok
bertambah berat. Penurunan kesadaran adalah gejala penting.
Transisi dari syok hipovolemik
ringan ke berat dapat terjadi bertahap atau malah sangat cepat, terutama pada
pasien usia lanjut dan yang memiliki penyakit berat di mana kematian mengancam.
Dalam waktu yang sangat pendek dari terjadinya kerusakan akibat syok maka
dengan resusitasi agresif dan cepat.4
Penatalaksanaan
Penanggulangan syok dimulai dengan
tindakan umum yang bertujuan untuk memperbaiki perfusi jaringan, memperbaiki
oksigenasi tubuh dan mempertahankan suhu tubuh. Tindakan ini tidak bergantung
pada penyebab syok. Diagnosis harus segera ditegakkan sehingga dapat diberikan
pengobatan kausal.
Segera berikan pertolongan pertama
sesuai dengan prinsip resusitasi CAB. Defisit volume peredaran darah (C =
circulation) pada syok hipovolemik sejati atau hipovolemia relatif (syok
septik, syok neurogenik, dan syok anafilaktik) harus diatasi dengan pemberian
cairan intravena dan bila perlu pemberian obat-obatan inotropik untuk
mempertahankan fungsi jantung atau obat vasokonstriktor untuk mengatasi
vasodilatasi perifer. Jalan nafas (A = air way) harus bebas kalau perlu dengan
pemasangan pipa endotrakeal. Pernafasan (B = breathing) harus terjamin, kalau
perlu dengan memberikan ventilasi buatan dan pemberian oksigen 100%. Segera
menghentikan perdarahan yang terlihat dan mengatasi nyeri yang hebat, yang juga
bisa merupakan penyebab syok.
a. Airway
Ketika
memeriksa jalan napas, dokter harus memastikan bahwa peralatan penyokong leher
dan tulang belakang ada pada tempatnya jika terdapat kemungkinan adanya trauma
dan menentukan apakah jalan napas paten, terlindungi dan berada pada posisi
yang adekuat, Dokter harus:
·
Mengamati tingkat kesadaran, adanya mengiler dan
sekresi, benda asing
luka bakar di wajah, karbon dalam sputum
·
Mempalpasi adanya
deformitas di wajah atau leher dan memeriksa adanya refleks muntah (gag
reflex), dan
·
Mendengarkan adanya
suara serak atau stridor.
Penanganan
jalan napas pada survei primer dapat dilakukan hanya dengan memposisikan jalan
napas dengan melakukan maneuver pengangkatan dagu atau pendorongan rahang (jaw
thrust; dilakukan jika terdapat kekhawatiran akan instabili¬tas leher dan
tulang belakang). Penanganan tersebut juga mencakup penempatan alat bantu jalan
napas oral atau nasofaring dan pemberian oksigen tambahan. Pada kasus
obstruksi, benda asing dapat dibebaskan dengan menggunakan manuver basic life
support atau secara manual dengan penghisapan {suctioning) atau forseps Magill.
Intervensi jalan napas yang definitif, seperti intubasi endotrakeal oral
(dengan atau tanpa rapid sequence technique), intubasi nasotrakeal atau
pembedahan jalan napas (misal krikotiroidotomi), mungkin diperlukan.
b. Breathing
Untuk
menilai keadekuatan sistem pernapasan,
dokter harus :
·
Mengamati tanda-tanda
deviasi trakea, pembesaran vena jugularis (jugular venous distension, JVD),
tanda Kussmaul (peningkatan JVD saat inspirasi), kesulitan bernapas (seperti
usaha untuk mengambil nafas/indrawing, usaha untuk membatasi gerak nafas karena
adanya nyeri/splinting dan penggunaan otot pemapasan tambahan) serta trauma
(konstusio,segmen gail/fail,luka terbuka).
·
Mempalpasi adanya
krepitasi tulang, udara subkutan atau nyeri tekan.
·
Mengauskultasi untuk
mengetahui adanya udara yang masuk, kesimetrisan,pernapasan
tambahan(ronki,mengi,dan gesekan)
·
Melakukan perkusi jika
perlu,untuk mengetahui adanya hiperresonansi atau bunyi pekak pada kedua sisi.
Intervensi
yang mungkin dilakukan saat fase pernapasan survey primer adalah ventilasi
dengan bag valve mask, pemberian nalokson untuk apnea yang dicetuskan
narkotika, pemasangan jarum dan slang torakostomi dan penggunaan ventilasi
bertekanan positif, baik dengan cara invasif maupun non-invasif.
c. Circulation
Untuk
menilai sirkulasi seorang dokter harus :
·
Mempalpasi frekuensi,
keteraturan irama, kontur dan kekuatan denyut nadi. Denyut nadi harus diperiksa
dikeempat ekstremitas, dan jika tidak teraba, palpasi denyut nadi
sentral(femoralis dan karotis). Dokter juga harus mempalpasi suhu tubuh dan
kelembapan kulit serta waktu pengisian kapiler ekstremitas
·
Mengamati tanda-tanda
pendarahan yang nyata seperti eksanguinasi yang tampak,perut yang membengkak,
panggul yang tidak stabil atau deformitas tulang panjang.
·
Mengukur tekanan darah,
jarak antara sistolik dan diastolik, dan jika perlu, membandingkan TD antar
keempat ekstremitas.
·
Mengauskultasi
prekordium untuk lebih jelas mendengar bunyi jantung, mendengar bunyi tambahan,
murmur, gesekan atau hammon’s cruch (pneumomediastinum).
Intervensi
saat fase sirkulasi pada survey primer mencakup pemasangan monitor oksimetri
untuk denyut nadi dan jantung serta pemasangan infus ke pembuluh darah.
Intervensi tersebut juga dapat mencakup pemberian cairan dan produk darah.
d. Disability
Disabilitas
menggambarkan penilaian status neurologis pada survey primer. Jika
memungkinkan, sebaiknya penilaian cepat dilakukan sebelum memberikan obat atau
agen paralisis. Yang harus dilakukan dokter adalah :
·
Menilai tingkat
kesadaran menggunakan skala koma Glasgow (tabel 1.1)
·
Mengamati ukuran dan
kesimetrisan pupil serta reaksinya terhadap cahaya dan mengamati keempat
ekstremitas untuk melihat pergerakan kasarnya
·
Mempalpasi tonus rektum
dengan colok dubur.
Intervensi
saat fase disabilitas pada survey primer sering kali terbatas pada jalan napas,
pernapasan dan sirkulasi, karena semua hal tersebut mempengaruhi fungsi
neurologis. Degitu semua hal tersebut dapat diketahui, perhatian dapat
diarahkan pada upaya intervensi seperti CT kranial, pemberian manitol dan
hiperventilasi untuk kasus kecurigaan herniasi otak.
e. Exposure
Meskipun
sering digambarkan sebagai upaya “menelanjangi,membalik, meraba dan mencium”,
pajanan tidak hanya berarti menelanjangi pasien, tetapi juga mencakup upaya
pencarian petunjuk penting lainnya. Hal yang harus dilakukan dokter adalah :
·
Memajankan seluruh area
permukaan tubuh pasien
·
Melakukan inspeki dan
mempalpasi punggung utnuk melihat adanya kelainan menggunakan penyokong leher
dan tulang belakang untuk memiringkan (roll) pasien jika terdapat krmungkinan
adanya trauma. Dokter juga harus mengispeksi ruam , lesi nyata yang lain dan
tanda-tanda trauma kulit.
·
Perhatikan adanya bau
tertentu pada tubuh pasien
·
Mengukur suhu rektum.
Intervensi
terpenting saat fase pemajanan pada survei primer sering kali berupa pengukuran
suhu rektum dan pemeliharaan suhu tubuh normal (eutermia). Hal ini dapat
dilakukan dan hanya menempatkan selimut hangat pada pasien hingga prose¬dur
penghangatan invasi/ untuk pasien hipotermia tak stabil. Pada beberapa
resusitasi, hipotermia dapat dipertahankan atau ditimbulkan secara sengaja.
Pasien de¬ngan hipertermia dapat ditangani dari sekedar pemberian asetaminofen,
atau. Pada kasus dengan peningkatan suhu tubuh yang ekstrem (>40°C),
memerlukan upaya pendinginan mekanis yang agresif. Pembalutan luka dengan bahan
yang steril harus dilakukan pada pasien dengan luka bakar.5
Resusitasi cairan
Resusitasi
cairan dengan cepat adalah dasar dari tatalaksana terapi syok hipovolemik.
Cairan harus diinfus pada kecepatan yang tepat untuk mengoreksi defisiensi
cairan. Pada pasien yang muda, infus biasanya dilakukan dengan kecepatan penuh
yang disanggupi oleh alat dan akses vena. Pada pasien yang lebih tua atau
dengan penyakit jantung, infus harus diperlambatkan setelah terjadi respon
perbaikan untuk mencegah terjadinya efek hipervolemia. Cairan parenteral dibagi
dua yakni kristaloid dan koloid, yang berbeda dari berat molekul.
1. Kristaloid,
cairan kristaloid memiliki berat molekul yang rendah yakni <6000. Walaupun
cairan ini banyak jenisnya, namun yang dapat dipakai untuk syok hipovoemik
adalah cairan yang isotonis dan memiliki natrium sebagai komponen utama. Karena
memiliki viskositas yang rendah maka dapat diberikan dengan banyak dari vena
perifer. Karena cairan isotonik memiliki osmolalitas yang sama dengan cairan
tubuh, maka tidak ada perpindahan cairan kedalam atau keluar dari ruang
intrasel. Kondisi cairan dalam extrasel adalah 75% ekstravaskular dan 25%
intravaskular. Administrasi cairan kristaloid
adalah 3 kali dari jumlah cairan tubuh yang hilang, karena kurang dari 2 jam
hanya tersisa 20% dari jumlah cairan yang diinfus berada pada ruang
intravaskular. Cairan kristaloid
aman dan efektif untuk resusitasi pasien dengan syok hipovolemik. Komplikasi
dari penggunaan cairan ini adalah undertreatment dan overtreatment. Parameter
klinis seperti restorasi urine output, frekuensi nadi yang berkurang,
peningkatan tekanan darah harus dievaluasi, untuk menilai apakah jumlah cairan
yang diberikan sudah adekuat. Kateter vena sentral berguna untuk memonitor
cairan yang adekuat pada pasien dengan penyakit kardiopulmonar. Administrasi
cairan kristaloid yang berlebihan berhubungan dengan edema generalisata. Edema
pulmonar tidak umum terjadi, kecuali apabila kuantitas cairan yang diberikan
mampu meningkatkan tekanan hidrostatik paru. (>25-30mmHg). Edema subkutan
dapat menjadi masalah yang diperhatikan karena mengganggu mobilitas pasien,
meningkatkan potensi ulkus decubitus.5
2. Koloid,
cairan ini memiliki berat jenis molekul yang tinggi untuk efek osmotiknya.
Karena itu, cairan koloid akan berada didalam ruang intravaskular dalam waktu
yang lama. Jumlah cairan koloid yang lebih sedikit dibandingkan dengan cairan
kristaloid diperlukan untuk terapi resusitasi karena sifat berat molekulnya
yang berat, sehingga menarik cairan dari ruang ekstravaskular ke ruang
intravaskular. Pada metaanalisis dari percobaan random, prospektif dengan 26
sampel ditemukan peningkatan angka sebesar 4% pada kematian dengan penggunaan
albumin dibanding kristaloid sebagai terapi resusitasi.
a. Albumin
adalah koloid yang paling sering digunakan. Memiliki berat molekul
66.000-69.000 dan tersedia sebagai larutan dengan konsentrasi 5% dan 25%. Serum
albumin normal adalah 96% albumin, dimana fraksi protein plasma adalah 83%.
Waktu paruh waktu dari albumin adalah 8 jam, walaupun kurang dari 10% kadarnya
keluar dari intravaskular setelah administrasi. Saat 25% albumin dimasukkan,
didapatkan volume intravaskular 5 kali dari jumlah volume koloid yang
dimasukkan. Seperti pada kristaloid, monitoring dari terapi cairan ini harus
dilakukan, karena dapat terjadi fungsi pulmonar yang berkurang.
b. Hetastarch
adalah produk sintetik yang tersedia dengan konsentrasi 6% yang diencerkan pada
normal salin. Berat molekulnya sama dengan albumin, dan sekresi melalui ginjal
sebanyak 46% dalam 2 hari, dan sisa 64% dieliminasi dalam 8 hari. Cairan ini merupakan volume expander yang efektif, dan dengan efek yang bertahan dari 3
jam hinga 24 jam. Kebanyakan pasien merespons dengan infus cairan 500-1000 cc,
namun menjadi komplikasi paru, ginjal, dan hepar apabila dosisnya
>20cc/kgBB. Cairan ini mempunyai efek menurunkan kadar trombosit dan anti
faktor VIII. Karena itu biasanya digunakan hanya 500-1000cc.
c. Dextrans,
terdapat dua buah cairan ini yang beredar yakni dxtrans 70 dan dextrans 40.
Keduanya dapat digunakan sebagai volume expander. Dextrans 40 di saring oleh
ginjal dan menyebabkan efek diuresis, sedangkan dextrans 70 di metabolisme
menjadi CO2 dan air. dextrans 70 bertahan lebih lama pada
intravaskular dibandingkan dengan dextrans 40. Dextrans 70 lebih disenangi
untuk volume expander karena waktu paruhnya yang bertahan hingga beberapa hari.
Komplikasi yang dapat terjadi adalah gagal ginjal, anafilaksis, dan perdarahan.
Dextrans 40 yang digunakan untuk diuresis malah bisa menurunkan jumlah volume
plasma, sedangkan dextran 70 dihubungkan dengan kejadian gagal ginjal. Kedua
cairan ini inhibisi adhesi trombosit dan agregasi trombosit melalui faktor
VIII.5
Pada
hypovolemia yang persisten, dapat diberikan pula obat-obat inotropik, seperti
dopamine, dobutamine, vasopressin untuk menjaga kinerja ventrikel.
Diare yang terjadi perlu dihentikan dan penyebabnya
dicari lebih lanjut apakah berupa suatu intoleransi atau suatu infeksi agar
tidak memberikan tatalaksana yang salah, untuk pemberian obat penghenti diare
dapat diberikan loperamid dengan dosis 4mg pada awalnya, dan 2 mg setiap diare,
sehari tidak lebih dari 16mg. Hentikan apabila tidak ada perbaikan dalam 48jam.
Efek samping yang dapat terjadi adalah mual, nyeri perut, mulut kering,
flatulens, konstipasi.5
Prognosis
Syok Hipovolemik selalu merupakan
darurat medis. Namun, gejala-gejala dan hasil dapat bervariasi tergantung pada:4
-
Jumlah volume darah
yang hilang
-
Tingkat kehilangan
darah
-
Cedera yang menyebabkan
kehilangan
-
Mendasari pengobatan
kondisi kronis, seperti diabetes dan jantung, paru, dan penyakit ginjal
Secara umum, pasien dengan derajat
syok yang lebih ringan cenderung lebih baik dibandingkan dengan syok yang lebih
berat. Dalam kasus-kasus syok hipovolemik berat, dapat menyebabkan kematian
sehingga memerlukan perhatian medis segera. Orang tua yang mengalami syok lebih cenderung memiliki
hasil yang buruk.
Penutup
Pasien
perempuan berusia 80 tahun tersebut datang dengan syok hipovolemik berat. Hal pertama yang harus
dilakukan pada pasien yang datang dengan syok adalah melakukan survei primer
yang terdiri dari Airway, Breathing, Circulation, Disability, Exposure sesegera mungkin.
Pada pasien ini tatalaksana berupa
resusitasi cairan, dimana terdapat pilihan kristaloid dan koloid, penggunaan
kedua cairan ini tidak harus terpisah
dan dapat dikombinasi. Setelah semua langkah dilakukan dan pasien menunjukkan
tanda-tanda perbaikan maka dapat dilakukan survei sekunder yakni anamnesis
pasien dengan lengkap dan evaluasi ulang pasien. Pemberian obat inotropic juga
dapat membantu bila terapi cairan telah diberikan.