Jumat, 10 April 2015

30 - Contoh Visum



RSUD WACANA
Jl. Utara Arjuna No. 69, Jakarta 11510
Telp 021-123654

                                                                                                           Jakarta, 15 Desember 2014

PROJUSTITIA
VISUM ET REPERTUM
No. 27/TU.RSU/XII/2014
Yang bertanda tangan di bawah ini: Agung Ganjar Kurniawan dokter Rumah Sakit Umum WACANA, atas permintaan dari Kepolisian Sektor Jakarta Barat dengan nomor: 17/VeR/12/2014/Sek. JakBar tertanggal: 15 Desember 2014, maka dengan ini menerangkan bahwa pada tanggal lima belas Desember tahun dua ribu empat belas, pukul delapan lewat tiga puluh menit Waktu Indonesia bagian Barat, bertempat di Rumah Sakit Umum Wacana telah melakukan pemeriksaan terhadap korban dngan nomor registrasi: 12345678 yang menurut surat tersebut adalah,
Nama               : Nn. Adriana .......... ……………………………………………………………..
Jenis kelamin   : Perempuan……………………………………………………………………..
Umur               : 25 tahun………………………………………………………………………..
Alamat                        : Jl. Tanjung Duren No. 27, Jakarta Barat………………………………………
Kebangsaaan   : Indonesia………………………………………………………………………
Agama             : Islam …………………………………………………………………………..
Pekerjaan         : Swasta…………………………………………………………………………

HASIL PEMERIKSAAN
  1. Korban datang dalam keadaan sadar penuh, dengan keadaan umum tampak sakit ringan…………………………………………………………………………………
  2. Korban mengaku telah diperkosa oleh temannya di sebuah kamar kost sekitar tiga belas jam sebelum pemeriksaan. Pelaku memaksa korban untuk membuka pakaian dan mengancam dengan pisau untuk berhubungan badan. Hubungan badan berlangsung sekitar lima belas menit dan pelaku tidak menggunakan pengaman (kondom). Korban merasa nyeri dan mengeluarkan sedikit darah dari alat kelamin.......
  3. Pada saat pemeriksaan, penampilan korban bersih sesuai dengan usia, cara berjalan normal, emosi tenang, rambut rapi, pakaian sudah diganti, rapi, tanpa robekan dan tanpa kancing yang terputus………..………..………..………..………..………..……
  4. Riwayat bersetubuh sebelumnya : korban mengaku belum pernah melakukan hubungan badan ………..………..………..………..………..………..………..……….

Lanjutan Ver No: No. 27/TU.RSU/XII/2014
Halaman ke 2 dari 2 halaman
  1. Riwayat haid : Haid pertama saat berusia lima belas tahun, siklus teratur dua puluh delapan hingga tiga puluh hari, lamanya lima hari, hari pertama haid terakhir tanggal 8 Desember 2014………..………..………..………..………..………..………..………
  2. Pada Korban dilakukan pemeriksaan :
·         Pemeriksaan fisik : Tingkat kesadaran berdasarkan Glasgow Coma Scale 15, tekanan darah 120/80 mmHg, denyut nadi 88 x/menit, pernapasan 20 x/menit, suhu ketiak 37°C, berat badan 50 kilogram, tinggi badan 170 sentimeter……
·         Pemeriksaan luka : tidak ditemukan luka-luka pada tubuh………..………..…
·         Pemeriksaan alat kelamin ditemukan :
-        Bagian luar : terdapat memar merah keunguan pada bibir kecil kemaluan, sesuai arah jam lima hingga jam tujuh, ukuran satu sentimeter kali nol koma lima sentimeter………..………..………..…...
-        Selaput dara: terdapat robekan pada arah jam enam dan tujuh, mencapai dasar, tampak kemerahan, nyeri pada penekanan dan mengeluarkan darah………..………..………..………..………..……...
-        Pemeriksaan hapusan liang sanggama menggunakan mikroskop, hasilnya tidak ditemukan sel-sel mani………..………..………..………
-        Pemeriksaan bilasan liang sanggama menggunakan alat uji cepat, hasilnya positif pengandung PSA (Prostate-Spesific Antigen) ………....
-        Pemeriksaan penyaring kehamilan menggunakan alat uji cepat dengan bahan air kencing, hasilnya negatif………..………..………..………....
KESIMPULAN
Pada korban perempuan, berusia dua puluh lima tahun ini, ditemukan robekan baru selaput dara dan komponen cairan mani dalam liang senggama akibat persetubuhan yang terjadi dalam kurun waktu empat puluh delapan jam sebelum pemeriksaan. Tidak ditemukan tanda-tanda kekerasan pada bagian tubuh lainnya………..………..………..………..………..……...
Demikianlah Visum et Repertum ini dibuat dengan sebenarnya dan menggunakan keilmuan saya yang sebaik-baiknya mengingat sumpah pada waktu menerima jabatan………..………...
                                                                       

     Jakarta, 15 Desember 2014
Yang membuat Visum et Repertum

dr. Agung Ganjar K

PBL 29 - Syok Hipovolemik e.c. Gastroenteritis



Syok Hipovolemik e.c. Gastroenteritis
Agung Ganjar Kurniawan
102010169
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara no.6 - Jakarta Barat 

Pendahuluan
Syok adalah suatu sindrom klinis yang terjadi akibat gangguan hemodinamik dan metabolik ditandai dengan kegagalan sistem sirkulasi untuk mempertahankan perfusi yang adekuat ke organ-organ vital tubuh. Hal ini muncul akibat kejadian pada hemostasis tubuh yang serius, perdarahan masif, trauma atau luka bakar (syok hipovolemik), infark miokard luas atau emboli paru (syok kardiogenik), sepsis akibat bakteri yang tidak terkontrol (syok septik), tonus vasomotor yang tidak adekuat (syok neurogenik) atau respon imun (syok anafilaktik).
Syok hipovolemik dapat merupakan akibat dari kehilangan cairan yang signifikan (selain darah). Dua contoh syok hipovolemik yang terjadi akibat kehilangan cairan, antara lain gastroenteritis refrakter dan luka bakar yang luas. Terjadinya kehilangan cairan dapat di bagi atas cairan eksternal dan internal. Kehilangan cairan eksternal terutama terjadi pada gastroenteritis, walaupun demikian kehilangan cairan eksternal ini juga dapat timbul dari sengatan matahari, poli uria, dan luka bakar. Sedangkan kehilangan cairan internal di sebabkan oleh sejumlah cairan yang berkumpul pada ruangan peritoneal dan pleura. Kehilangan cairan eksternal ini juga di sertai dengan kehilangan elektrolit.





Pembahasan
Anamnesis
Beberapa hal yang harus diperhatikan selama anamnesis :
1)      Identitas pasien : nama lengkap pasien,umur, tanggal lahir, jenis kelamin, nama orang tua atau suami atau istri atau penanggung jawab, alamat, pendidikan pekerjaan suku bangsa dan agama.
2)      Keluhan utama :keluhan yang dirasakan pasien yang membawa pasien pergi ke dokter atau mencari pertolongan.
·         Pada kasus : pasien dibawa oleh suaminya karena kesadaran menurun.
3)      Riwayat penyakit sekarang :
·         Sejak kapan keluhannya berlangsung? dan berapa lama?
·         Apakah keluhan baru pertama kali atau sudah berulang kali?
·         Apakah ada faktor pencetus terjadinya keluhan sekarang?
·         Apakah punya kebiasaaan minum alcohol atau merokok?
·         Apa yang dimaksud pasien dengan diare yang dialaminya? Sering buang air besar? Buang air besar lunak? Encer? Apakah volume tinja benar-benar meningkat? Apakah sangat berair? Adakah makanan yang tidak tercerna dalam tinja?
·         Apa warna dan konsistensi tinja? Adakah darah, lender atau nanah? Apakah tinja pucat, apakah mengapung (akibat steatorea)?
·         Adakah gejala lain yang berhubungan seperti muntah atau nyeri abdomen?
·         Adakah gejala sistemik seperti demam, pusing, ruam atau atralgia?
·         Adakah tanda-tanda yang menunjukan malabsorpsi (misalnya penurunan berat badan, gejala anemia)?
·         Pernahkah pasien berpergian baru-baru ini?

4)      Riwayat penyakit dahulu : mengetahui kemungkinan-kemungkinan adanya hubungan antara penyakit yang pernah diderita dengan penyakitnya sekarang.
·         Adakah riwayat diare sebelumnya, penyakit saluran cerna yang diketahui, atau operasi perut?
·         Obat-obatan yang pernah dikonsumsi yang mungkin menyebabkan diare? Atau yang masih dikonsumsi sampai sekarang?
5)      Riwayat penyakit dalam keluarga : apakah ada dikeluarga yang mempunyai radang usus atau keganasan saluran cerna.

Pemeriksaan
Pemeriksaan Fisik
1)      Kedaaan umum
            Dapat dilihat melalui ekspresi wajahnya,gayanya berjalan dan tanda-tanda spesifik lain yang segera tampak begitu kita melihat pasien. Keadaan umum pasien dibagi atas tampak sakit ringan atau sakit sedang atau sakit berat. Keadaan umum pasien seringkali dapat menilai apakah keadaan pasien dalam keadaan darurat medik atau tidak.1,2
Pada kasus: keadaan  umum pasien tampak sakit berat.
2)      Kesadaran
Tingkat kesadaran :
a.      Kompos mentis:  Sadar sepenuhnya, baik terhadap dirinya maupun lingkungannya. Pasien dapat menjawab pertanyaan pemeriksa dengan baik.
b.      Apatis: Pasien tampak segan dan acuh tak acuh terhadap lingkungannya.
c.       Delirium : Penurunan kesadaran disertai kekacauan motorik dan siklus tidur-bangun yang terganggu. Pasien tampak gaduh, gelisah, kacau, disorientasi, dan meronta-ronta
d.      Somnolen: Keadaan mengantuk yang masih dapat pulih bila dirangsang, tapi bila rangsang berhenti, pasien akan tertidur kembali.
e.      Sopor: Keadaan mengantuk yang dalam. Bisa dibangunkan dengan rangsang kuat (rangsang nyeri), tapi pasien tidak bangun sempurna dan tidak dapat memberikan jawabab verbal dengan baik.
f.        Koma: Penurunan kesadaran yang sangat dalam, tidak ada gerakan spontan dan tidak daa respon terhadap rangsang nyeri.1,2
Pada kasus: kesadaran pasien sopor karena tidak bisa bicara atau marah bila dicubit.
Dengan skala Glasgow Coma Scale dapat dinilai kesadaran pasien. Glasgow mencoba mengkaitkan antara kesadaran seseorang dengan reflek fisik. Jika fisiknya tidak bisa merespon stimulasi dengan baik, maka secara bertahap kesadaran orang tersebut dianggap menurun, sampai pada suatu batas terendahnya yaitu koma alias mati suri. Total nilai antara respon mata, verbal, dan motorik diberi angka 15. Jika seseorang memperoleh nilai akumulatif 15 berarti orang tersebut berada dalam kondisi 'sadar' alias 'terjaga' penuh. Jika di bawah angka 8, ia sudah dikategorikan sebagai koma. 1,2
            Derajat berat ringannya dapat diukur dengan Glasgow Coma Scale (GCS) dengan menjumlahkan: E + M + V = (score: 3 – 15 )
Tabel 1 : Glasgow Coma Scale pada Orang Dewasa.
Respons
Jenis Respons
Poin
Eye Opening (E)
Spontan mata berkedip
4

Terbuka dengan perintah bicara/jeritan
3

Terbuka pada rangsangan sakit
2

Tidak ada respons dengan suara & rasa sakit
1
Verbal (V)
Percakapan terorientasi
5

Bicara membingungkan, dapat menjawab pertanyaan
4

Respons tidak jelas, kata-kata tidak cocok
3

Kata-kata sembarangan
2

Tidak ada respons terhadap pertanyaan
1
Motorik (M)
Melakukan gerakan yang diperintahkan
6

Tahu lokasi rangsang sakit (rasa sakit lokal)
5

Tidak merasakan sakit
4

Fleksus tidak normal, decorticate posture (fleksi sendi siku)
3

Ekstensor abnormal (rigit), decerebrate posture
2

Tidak ada respons nyeri
1

Keterangan
Ringan             : 13 – 15 poin                                      Berat               : 3-8 poin
Moderate         : 9-12 poin                                           Koma              : < 8 poin

3)      Tanda-tanda vital

a)      Suhu tubuh
b)      Tekanan Darah (TD)
c)       Nadi (A.Frekuensi nadi ,N : 80x/menit , >100x/menit : takikardia, < 60 :  bradikardia.B. Irama denyut nadi, reguler atau tidak reguler).
d)      Frekuensi pernapasan (N :18-20 x/menit).
e)      Dilihat tanda-tanda dehidrasi :
·         Periksa turgor kulit
·         Periksa membran mukosa, warna dan suhu kulit
·         Periksa JVP, meningkat atau menurun.
Pada kasus : Tekanan darah  70/40 mmHg, Nadi: 112 x/menit, Suhu: 360C , Nafas 26 x/menit.

4)      Pemeriksaan Abdomen
a)      Inspeksi
Setelah melakukan inspeksi menyeluruh dan keadaan sekitarnya dengan cepat, perhatikan abdomen untuk memeriksa hal berikut ini :
·         Apa bentuk abdomen?
·         Apa warna kulit, lesi kulit, tonjolan/massa?
·         Apakah ada bekas luka operasi?
·         Apakan pasien menderita iritasi peritoneum, yaitu pergerakan abdomen menjadi terbatas?
·         Apakah terdapat gerakan peristaltik yang dapat terlihat?
Peristaltik yang terlihat dapat dijumpai pada individu normal yang kurus, tetapi pada orang yang gemuk, gerakan peristaltik hanya terlihat di sebelah proksimal dari letak lesi obstruktif usus.



b)      Palpasi
Abdomen harus diperiksa secara sistematis, terutama jika pasien menderita nyeri abdomen. Selalu tanyakan letak nyeri yang dirasa maksimal dan periksa bagian tersebut paling akhir.
Lakukan palpasi pada setiap kuadran secara berurutan, awalnya tanpa penekanan yang berlebihan dan dilanjutkan dengan palpasi secara dalam (jika tidak terdapat area nyeri yang diderita atau diketahui). Kemudian, lakukan palpasi secara khusus terhadap beberapa organ.
Ketika meraba organ intrabdomen yang membesar, bagian tepi organ lebih sering teraba daripada “badan” organ, akan tetapi konsistensi antara organ tersebut dengan organ disekitarnya seringkali mudah dibedakan hanya dengan meraba bagian tepinya. Tepi organ dapat diketahui dengan lebih mudah jika pemeriksa meminta pasien untuk mengambil nafas agak dalam sehingga organ tersebut bergerak.
Bila terdapat pembengkakan yang abnormal, dan pada waktu palpasi menimbulkan rasa nyeri, tentukan keadaan dan karakteristiknya.
c)       Perkusi
Perkusi berguna (khususnya pada pasien yang gemuk) untuk memastikan adanya pembesaran beberapa organ , khususnya hati, limpa, atau kandung kemih. Lakukan selalu perkusi dari daerah resonan ke daerah pekak, dengan jari pemeriksa yang sejajar dengan bagian tepi organ.
d)      Aukultasi
Hanya pengalaman klinis yang dapat memberitahu bising usus yang normal. Seorang pemeriksa mungkin membutuhkan waktu selama beberapa menit sebelum dapat mengatakan dengan yakin bahwa bising usus tidak terdengar.
Bising usus yang meningkat dapat ditemukan pada obstruksi usus, diare, dan jika terdapat darah dalam pencernaan yang berasal dari saluran cerna atas (keadaan yang menyebabkan peningkatkan peningkatan peristaltik). Bising usus menurun atau menghilang ditemukan pada ileus,perforasi, peritonitis generalisata.3
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium awal yang sebaiknya dilakukan antara lain:
1.  Darah lengkap3
Hematokrit meningkat karna kehilangan cairan. Leukopenia mungkin ada sebagai akibat hipersplenisme3
2.  Kenaikan kadar SGOT, SGPT
3.  Albumin serum menurun (Normal : 3,2-4,6 g/dL)
4.  Pemeriksaan kadar elektrolit (Na, K, Cl, HCO3): hipokalemia
5.  Pemanjangan masa protrombin
6.  Glukosa serum: hipoglikemi
7.  Fibrinogen menurun
8.  BUN meningkat
9.  Kimia darah (termasuk tes fungsi hati, faal ginjal).

Diagnosis
Syok hipovolemik merujuk kepada suatu kondisi di mana terjadi kehilangan cairan yang mendadak hingga menyebabkan kegagalan beberapa organ karena kurang volume sirkulasi dan perfusi yang tidak mencukupi. Syok hipovolemik dapat berhubungan dengan dehidrasi, perdarahan internal atau eksternal, kehilangan cairan gastrointestinal (diare atau muntah), Berdasarkan gejala yang ada pasien tersebut mengalami diare yang menyebabkan banyak kehilangan cairan elektrolit sehingga berakibat syok hipovolemik. Pasien  sendiri adalah kehilangan banyak cairan dan elektrolit melalui diare dan muntah. Pasien tersebut mengeluarkan tinja kira-kira 125-150 cc/kali BAB dan muntah 75-100 cc/ kali muntah. Dasar semua diare adalah gangguan transportasi larutan usus, perpindahan air melalui membran usus berlangsung secara pasif dan hal ini ditentukkan oleh aliran larutan secara aktif maupun pasif, terutama natrium, klorida dan glukosa.4
Tanda-tanda syok
Bila syok disebabkan oleh kehilangan darah atau cairan, tanda-tandanya adalah:
·         Penurunan tekanan darah
·         Kenaikan frekuensi nadi
·         Pucat
·         Berkeringat
·         Kulit dingin
Singkatnya, syok telah terjadi bila pasien yang se­belumnya hangat, kering, dan dengan na­di bagus, menjadi dingin, lembap dan pucat, dengan na­di buruk.
a. Nadi
Lihat dan awasi nadi pasien dengan seksama, dengan memper­hatikan khusus:
·         Kecepatan
·         Volume, yang menunjukkan tekanan darah
·         Irama, aritmia tidak jarang pada anestesia, tetapi maknanya tidak selalu jelas.
b. Warna: Perhatikan tidak hanya sianosis tetapi juga kepucat­an. Ini juga dilihat pertama pada cuping telinga.
c. Kulit: Sentuh pasien untuk mem­perhatikan adanya keringatan dan suhu kulit.
d. Kehilangan darah: Taksir selalu jumlah darah yang hilang. Sekurang-kurangnya pasien dapat diklasifiksikan sebagai: berdarah banyak, berdarah sedang, tidak berdarah banyak.
e. Pernapasan: Takipnea adalah karakteristik dan alkalosis respiratorius sering ditemukan pada tahap awal dari syok.

Etiologi
Syok hipovolemik adalah terganggunya system sirkulasi dari volume darah dalam pembuluh darah yang berkurang. Hal ini bisa terjadi akibat pendaraha massif atau kehilangan plasma darah.4



Penyebab Syok Hipovolemik
Pendarahan
Hematom subskapular hati
Aneurisma Aorta Pecah
Pendarahan gastrointestinal
Perlukaan berganda
Kehilangan Plasma
Luka bakar Luas
Pankreatitis
Deskuamasi Kulit
Sindrom Dumping
Kehilangan Cairan Ekstraselular
Muntah
Dehidrasi
Terapi diuretic yang sangat agresif
Diabetis insipidus
Insufisiensi adrenal

Patofisiologi
            Perdarahan akan menurunkan tekanan pengisian pembuluh darah rata-rata dan menurunkan aliran darah balik ke jantung. Hal inlah yang menimbulkan penurunan curah jantung. Curah jantung yang rendah di bawah normal akan menimbulkan beberapa kejadian pada beberapa organ: 4
Mikrosirkulasi
            Ketika curah jantung turun, tahanan vaskular sistemik akan berusaha untuk meningkatkan tekanan sistemik guna menyediakan perfusi yang cukup bagi jantung dan otak melebihi jaringan lain seperti otot, kulit dan khususnya traktus gastrointestinal. Kebutuhan energi untuk pelaksanaan metabolisme di jantung dan otak sangat tinggi tetapi kedua sel organ itu tidak mampu menyimpan cadangan energi. Sehingga keduanya sangat bergantung akan ketersediaan oksigen dan nutrisi tetapi sangat rentan bila terjadi iskemia yang berat untuk waktu yang melebihi kemampuan toleransi jantung dan otak. Ketika tekanan arterial rata-rata (mean arterial pressure/ MAP) jatuh hingga < 60 mmHg, maka aliran ke organ akan turun drastis dan fungsi sel di semua organ akan terganggu.4
Neuroendokrin
            Hipovolemia, hipotensi dan hipoksia dapat dideteksi oleh baroreseptordan kemoreseptor tubuh. Kedua reseptor tadi berperan dalam respons autonom tubuh yang mengatur perfusi serta substrak lain. 4
Kardiovaskular
            Tiga variabel seperti; pengisian atrium, tahanan terhadap tekanan (ejeksi) ventrikel dan kontraktilitas miokard, bekerja keras dalam mengontrol volume sekuncup. Curah jantung, penentu utama dalam perfusi jaringan, adalah hasil kali volume sekuncup dan frekuensi jantung. Hipovolemia menyebabkan penurunan pengisian ventrikel, yang pada akhirnya menurunkan volume sekuncup. Suatu peningkatan frekuensi jantung sangat bermanfaat namun memiliki keterbatasan mekanisme kompensasi untuk mempertahankan curah jantung. 4
Pulmonal
            Respons dari susunan vascular pulmonal (pulmonary vascular bed) terhadap shok berlawanan dengan susunan vascular sistemik (systemic vascular bed), dan peningkatan relative resistensi vascular pulmonal, terutama pada shok sepsis, dapat melewati resistensi vascular sistemik (Systemic Vascular Resistance, SVR), yang dapat menyebabkan gagal jantung kanan. Takipnea diinduksi-shok mengurangi volume tidal dan menambah ruang rugi dan vetilasi menit. Hipoksia relatif yang diikuti oleh takipnea menginduksi alkalosis respiratorik. Shok dikenal dapat menyebabkan acute lung injury yang diikuti oleh acyte respiratory distress syndrome (ARDS). Kelainan ini ditandai dengan edema pulmonal nonkardiogenik yang dihasilkan dari kerusakan difus endotel kapiler pulmonal dan epitel alveolus, hipoksemia, dan infiltrasi pulmonal bilateral difus. Hipoksemia dihasilkan dari perfusi alveolus yang tak terventilasi. Hilangnya surfaktan dan volume paru dalam kombinasi dengan peningkatan edema alveolar dan interstisial mengurangi compliance paru. Usaha untuk bernafas dan kebutuhan akan oksigen otot respirasi bertambah.4
Gastrointestinal
            Akibat aliran darah yang menurun ke jaringan intestinal, maka terjadi peningkatan absorpsi endotoksin yang dilepaskan oleh bakteri gram negatif yang mati di dalam usus. Hal ini memicu pelebaran pembuluh darah serta peningkatan metabolisme dan bukan memperbaiki nutrisi sel dan menyebabkan depresi jantung. 4
Ginjal
            Gagal ginjal akut adalah satu komplikasi dari syok dan hipoperfusi, frekuensi terjadinya sangat jarang karena cepatnya pemberian cairan pengganti. Yang banyak terjadi kini adalah nekrosis tubular akut akibat interaksi antara syok, sepsis dan pemberian obat yang nefrotoksik seperti aminoglikosida dan media kontras angiografi. Secara fisiologi, ginjal mengatasi hipoperfusi dengan mempertahankan garam dan air. Pada saat aliran darah di ginjal berkurang, tahanan arteriol aferen meningkat untuk mengurangi laju filtrasi glomerulus, yang bersama-sama dengan aldosteron dan vasopresin bertanggung jawab terhadap menurunnya produksi urin. 4

Manifestasi Klinik
            Gejala dan tanda yang disebabkan oleh syok hipovolemik akibat non-perdarahan atau perdarahan adalah sama meski ada sedikit perbedaan dalam kecepatan timbulnya syok. Respons fisiologi yang normal adalah mempertahankan perfusi terhadap otak dan jantung sambil memperbaiki volume darah dalam sirkulasi dengan efektif.
            Disini akan terjadi peningkatan kerja simpatis, hiperventilasi, pembuluh vena yang kolaps, pelepasan hormone stress serta ekspansi besar guna pengisian volume pembuluh darah dengan menggunakan cairan interstisial, intraselular dan mengurangkan produksi urin.
            Hipovolemia ringan (<20% volume darah) menimbulkan takikardia ringan dengan sedikit gejala yang tampak, terutama pada penderita muda yang sedang berbaring.
            Pada hipovolemia sedang (20-40% dari volume darah) pasien menjadi lebih cemas dan takikardia lebih jelas, meski tekanan darah bisa ditemukan normal pada posisi berbaring, namun dapat ditemukan dengan jelas hipotensi ortostatik dan takikardia.
            Pada hipovolemia berat maka gejala klasik syok akan muncul, tekanan darah menurun drastic dan tak stabil walaupun posisi berbaring, pasien menderita takikardia hebat, oliguria, agitasi atau bingung. Perfusi ke susunan saraf pusat dipertahankan dengan baik sampai syok bertambah berat. Penurunan kesadaran adalah gejala penting.
            Transisi dari syok hipovolemik ringan ke berat dapat terjadi bertahap atau malah sangat cepat, terutama pada pasien usia lanjut dan yang memiliki penyakit berat di mana kematian mengancam. Dalam waktu yang sangat pendek dari terjadinya kerusakan akibat syok maka dengan resusitasi agresif dan cepat.4
Penatalaksanaan
            Penanggulangan syok dimulai dengan tindakan umum yang bertujuan untuk memperbaiki perfusi jaringan, memperbaiki oksigenasi tubuh dan mempertahankan suhu tubuh. Tindakan ini tidak bergantung pada penyebab syok. Diagnosis harus segera ditegakkan sehingga dapat diberikan pengobatan kausal.
            Segera berikan pertolongan pertama sesuai dengan prinsip resusitasi CAB. Defisit volume peredaran darah (C = circulation) pada syok hipovolemik sejati atau hipovolemia relatif (syok septik, syok neurogenik, dan syok anafilaktik) harus diatasi dengan pemberian cairan intravena dan bila perlu pemberian obat-obatan inotropik untuk mempertahankan fungsi jantung atau obat vasokonstriktor untuk mengatasi vasodilatasi perifer. Jalan nafas (A = air way) harus bebas kalau perlu dengan pemasangan pipa endotrakeal. Pernafasan (B = breathing) harus terjamin, kalau perlu dengan memberikan ventilasi buatan dan pemberian oksigen 100%. Segera menghentikan perdarahan yang terlihat dan mengatasi nyeri yang hebat, yang juga bisa merupakan penyebab syok.
a.       Airway
Ketika memeriksa jalan napas, dokter harus memastikan bahwa peralatan penyokong leher dan tulang belakang ada pada tempatnya jika terdapat kemungkinan adanya trauma dan menentukan apakah jalan napas paten, terlindungi dan berada pada posisi yang adekuat, Dokter harus:
·          Mengamati tingkat kesadaran, adanya mengiler dan sekresi, benda asing luka bakar di wajah, karbon dalam sputum
·         Mempalpasi adanya deformitas di wajah atau leher dan memeriksa adanya refleks muntah (gag reflex), dan
·         Mendengarkan adanya suara serak atau stridor.
Penanganan jalan napas pada survei primer dapat dilakukan hanya dengan memposisikan jalan napas dengan melakukan maneuver pengangkatan dagu atau pendorongan rahang (jaw thrust; dilakukan jika terdapat kekhawatiran akan instabili¬tas leher dan tulang belakang). Penanganan tersebut juga mencakup penempatan alat bantu jalan napas oral atau nasofaring dan pemberian oksigen tambahan. Pada kasus obstruksi, benda asing dapat dibebaskan dengan menggunakan manuver basic life support atau secara manual dengan penghisapan {suctioning) atau forseps Magill. Intervensi jalan napas yang definitif, seperti intubasi endotrakeal oral (dengan atau tanpa rapid sequence technique), intubasi nasotrakeal atau pembedahan jalan napas (misal krikotiroidotomi), mungkin diperlukan.
b.      Breathing
Untuk menilai keadekuatan sistem pernapasan,  dokter harus :
·         Mengamati tanda-tanda deviasi trakea, pembesaran vena jugularis (jugular venous distension, JVD), tanda Kussmaul (peningkatan JVD saat inspirasi), kesulitan bernapas (seperti usaha untuk mengambil nafas/indrawing, usaha untuk membatasi gerak nafas karena adanya nyeri/splinting dan penggunaan otot pemapasan tambahan) serta trauma (konstusio,segmen gail/fail,luka terbuka).
·         Mempalpasi adanya krepitasi tulang, udara subkutan atau nyeri tekan.
·         Mengauskultasi untuk mengetahui adanya udara yang masuk, kesimetrisan,pernapasan tambahan(ronki,mengi,dan gesekan)
·         Melakukan perkusi jika perlu,untuk mengetahui adanya hiperresonansi atau bunyi pekak pada kedua sisi.
Intervensi yang mungkin dilakukan saat fase pernapasan survey primer adalah ventilasi dengan bag valve mask, pemberian nalokson untuk apnea yang dicetuskan narkotika, pemasangan jarum dan slang torakostomi dan penggunaan ventilasi bertekanan positif, baik dengan cara invasif maupun non-invasif.
c.       Circulation
Untuk menilai sirkulasi seorang dokter harus :
·         Mempalpasi frekuensi, keteraturan irama, kontur dan kekuatan denyut nadi. Denyut nadi harus diperiksa dikeempat ekstremitas, dan jika tidak teraba, palpasi denyut nadi sentral(femoralis dan karotis). Dokter juga harus mempalpasi suhu tubuh dan kelembapan kulit serta waktu pengisian kapiler ekstremitas
·         Mengamati tanda-tanda pendarahan yang nyata seperti eksanguinasi yang tampak,perut yang membengkak, panggul yang tidak stabil atau deformitas tulang panjang.
·         Mengukur tekanan darah, jarak antara sistolik dan diastolik, dan jika perlu, membandingkan TD antar keempat ekstremitas.
·         Mengauskultasi prekordium untuk lebih jelas mendengar bunyi jantung, mendengar bunyi tambahan, murmur, gesekan atau hammon’s cruch (pneumomediastinum).
Intervensi saat fase sirkulasi pada survey primer mencakup pemasangan monitor oksimetri untuk denyut nadi dan jantung serta pemasangan infus ke pembuluh darah. Intervensi tersebut juga dapat mencakup pemberian cairan dan produk darah.
d.      Disability
Disabilitas menggambarkan penilaian status neurologis pada survey primer. Jika memungkinkan, sebaiknya penilaian cepat dilakukan sebelum memberikan obat atau agen paralisis. Yang harus dilakukan dokter adalah :
·         Menilai tingkat kesadaran menggunakan skala koma Glasgow (tabel 1.1)
·         Mengamati ukuran dan kesimetrisan pupil serta reaksinya terhadap cahaya dan mengamati keempat ekstremitas untuk melihat pergerakan kasarnya
·         Mempalpasi tonus rektum dengan colok dubur.
Intervensi saat fase disabilitas pada survey primer sering kali terbatas pada jalan napas, pernapasan dan sirkulasi, karena semua hal tersebut mempengaruhi fungsi neurologis. Degitu semua hal tersebut dapat diketahui, perhatian dapat diarahkan pada upaya intervensi seperti CT kranial, pemberian manitol dan hiperventilasi untuk kasus kecurigaan herniasi otak.
e.       Exposure
Meskipun sering digambarkan sebagai upaya “menelanjangi,membalik, meraba dan mencium”, pajanan tidak hanya berarti menelanjangi pasien, tetapi juga mencakup upaya pencarian petunjuk penting lainnya. Hal yang harus dilakukan dokter adalah :
·         Memajankan seluruh area permukaan tubuh pasien
·         Melakukan inspeki dan mempalpasi punggung utnuk melihat adanya kelainan menggunakan penyokong leher dan tulang belakang untuk memiringkan (roll) pasien jika terdapat krmungkinan adanya trauma. Dokter juga harus mengispeksi ruam , lesi nyata yang lain dan tanda-tanda trauma kulit.
·         Perhatikan adanya bau tertentu pada tubuh pasien
·         Mengukur suhu rektum.
Intervensi terpenting saat fase pemajanan pada survei primer sering kali berupa pengukuran suhu rektum dan pemeliharaan suhu tubuh normal (eutermia). Hal ini dapat dilakukan dan hanya menempatkan selimut hangat pada pasien hingga prose¬dur penghangatan invasi/ untuk pasien hipotermia tak stabil. Pada beberapa resusitasi, hipotermia dapat dipertahankan atau ditimbulkan secara sengaja. Pasien de¬ngan hipertermia dapat ditangani dari sekedar pemberian asetaminofen, atau. Pada kasus dengan peningkatan suhu tubuh yang ekstrem (>40°C), memerlukan upaya pendinginan mekanis yang agresif. Pembalutan luka dengan bahan yang steril harus dilakukan pada pasien dengan luka bakar.5

Resusitasi cairan
            Resusitasi cairan dengan cepat adalah dasar dari tatalaksana terapi syok hipovolemik. Cairan harus diinfus pada kecepatan yang tepat untuk mengoreksi defisiensi cairan. Pada pasien yang muda, infus biasanya dilakukan dengan kecepatan penuh yang disanggupi oleh alat dan akses vena. Pada pasien yang lebih tua atau dengan penyakit jantung, infus harus diperlambatkan setelah terjadi respon perbaikan untuk mencegah terjadinya efek hipervolemia. Cairan parenteral dibagi dua yakni kristaloid dan koloid, yang berbeda dari berat molekul.
1.      Kristaloid, cairan kristaloid memiliki berat molekul yang rendah yakni <6000. Walaupun cairan ini banyak jenisnya, namun yang dapat dipakai untuk syok hipovoemik adalah cairan yang isotonis dan memiliki natrium sebagai komponen utama. Karena memiliki viskositas yang rendah maka dapat diberikan dengan banyak dari vena perifer. Karena cairan isotonik memiliki osmolalitas yang sama dengan cairan tubuh, maka tidak ada perpindahan cairan kedalam atau keluar dari ruang intrasel. Kondisi cairan dalam extrasel adalah 75% ekstravaskular dan 25% intravaskular. Administrasi cairan kristaloid adalah 3 kali dari jumlah cairan tubuh yang hilang, karena kurang dari 2 jam hanya tersisa 20% dari jumlah cairan yang diinfus berada pada ruang intravaskular. Cairan kristaloid aman dan efektif untuk resusitasi pasien dengan syok hipovolemik. Komplikasi dari penggunaan cairan ini adalah undertreatment dan overtreatment. Parameter klinis seperti restorasi urine output, frekuensi nadi yang berkurang, peningkatan tekanan darah harus dievaluasi, untuk menilai apakah jumlah cairan yang diberikan sudah adekuat. Kateter vena sentral berguna untuk memonitor cairan yang adekuat pada pasien dengan penyakit kardiopulmonar. Administrasi cairan kristaloid yang berlebihan berhubungan dengan edema generalisata. Edema pulmonar tidak umum terjadi, kecuali apabila kuantitas cairan yang diberikan mampu meningkatkan tekanan hidrostatik paru. (>25-30mmHg). Edema subkutan dapat menjadi masalah yang diperhatikan karena mengganggu mobilitas pasien, meningkatkan potensi ulkus decubitus.5
2.      Koloid, cairan ini memiliki berat jenis molekul yang tinggi untuk efek osmotiknya. Karena itu, cairan koloid akan berada didalam ruang intravaskular dalam waktu yang lama. Jumlah cairan koloid yang lebih sedikit dibandingkan dengan cairan kristaloid diperlukan untuk terapi resusitasi karena sifat berat molekulnya yang berat, sehingga menarik cairan dari ruang ekstravaskular ke ruang intravaskular. Pada metaanalisis dari percobaan random, prospektif dengan 26 sampel ditemukan peningkatan angka sebesar 4% pada kematian dengan penggunaan albumin dibanding kristaloid sebagai terapi resusitasi.
a.       Albumin adalah koloid yang paling sering digunakan. Memiliki berat molekul 66.000-69.000 dan tersedia sebagai larutan dengan konsentrasi 5% dan 25%. Serum albumin normal adalah 96% albumin, dimana fraksi protein plasma adalah 83%. Waktu paruh waktu dari albumin adalah 8 jam, walaupun kurang dari 10% kadarnya keluar dari intravaskular setelah administrasi. Saat 25% albumin dimasukkan, didapatkan volume intravaskular 5 kali dari jumlah volume koloid yang dimasukkan. Seperti pada kristaloid, monitoring dari terapi cairan ini harus dilakukan, karena dapat terjadi fungsi pulmonar yang berkurang.
b.      Hetastarch adalah produk sintetik yang tersedia dengan konsentrasi 6% yang diencerkan pada normal salin. Berat molekulnya sama dengan albumin, dan sekresi melalui ginjal sebanyak 46% dalam 2 hari, dan sisa 64% dieliminasi dalam 8 hari.  Cairan ini merupakan volume expander yang efektif, dan dengan efek yang bertahan dari 3 jam hinga 24 jam. Kebanyakan pasien merespons dengan infus cairan 500-1000 cc, namun menjadi komplikasi paru, ginjal, dan hepar apabila dosisnya >20cc/kgBB. Cairan ini mempunyai efek menurunkan kadar trombosit dan anti faktor VIII. Karena itu biasanya digunakan hanya 500-1000cc.
c.       Dextrans, terdapat dua buah cairan ini yang beredar yakni dxtrans 70 dan dextrans 40. Keduanya dapat digunakan sebagai volume expander. Dextrans 40 di saring oleh ginjal dan menyebabkan efek diuresis, sedangkan dextrans 70 di metabolisme menjadi CO2 dan air. dextrans 70 bertahan lebih lama pada intravaskular dibandingkan dengan dextrans 40. Dextrans 70 lebih disenangi untuk volume expander karena waktu paruhnya yang bertahan hingga beberapa hari. Komplikasi yang dapat terjadi adalah gagal ginjal, anafilaksis, dan perdarahan. Dextrans 40 yang digunakan untuk diuresis malah bisa menurunkan jumlah volume plasma, sedangkan dextran 70 dihubungkan dengan kejadian gagal ginjal. Kedua cairan ini inhibisi adhesi trombosit dan agregasi trombosit melalui faktor VIII.5

Pada hypovolemia yang persisten, dapat diberikan pula obat-obat inotropik, seperti dopamine, dobutamine, vasopressin untuk menjaga kinerja ventrikel.
Diare yang terjadi perlu dihentikan dan penyebabnya dicari lebih lanjut apakah berupa suatu intoleransi atau suatu infeksi agar tidak memberikan tatalaksana yang salah, untuk pemberian obat penghenti diare dapat diberikan loperamid dengan dosis 4mg pada awalnya, dan 2 mg setiap diare, sehari tidak lebih dari 16mg. Hentikan apabila tidak ada perbaikan dalam 48jam. Efek samping yang dapat terjadi adalah mual, nyeri perut, mulut kering, flatulens, konstipasi.5
Prognosis          
            Syok Hipovolemik selalu merupakan darurat medis. Namun, gejala-gejala dan hasil dapat bervariasi tergantung pada:4
-        Jumlah volume darah yang hilang
-        Tingkat kehilangan darah
-        Cedera yang menyebabkan kehilangan
-        Mendasari pengobatan kondisi kronis, seperti diabetes dan jantung, paru, dan penyakit ginjal
            Secara umum, pasien dengan derajat syok yang lebih ringan cenderung lebih baik dibandingkan dengan syok yang lebih berat. Dalam kasus-kasus syok hipovolemik berat, dapat menyebabkan kematian sehingga memerlukan perhatian medis segera. Orang tua  yang mengalami syok lebih cenderung memiliki hasil yang buruk.


Penutup
            Pasien perempuan berusia 80 tahun tersebut datang dengan syok hipovolemik berat. Hal pertama yang harus dilakukan pada pasien yang datang dengan syok adalah melakukan survei primer yang terdiri dari Airway, Breathing, Circulation, Disability, Exposure sesegera mungkin. Pada pasien ini tatalaksana berupa resusitasi cairan, dimana terdapat pilihan kristaloid dan koloid, penggunaan kedua cairan ini  tidak harus terpisah dan dapat dikombinasi. Setelah semua langkah dilakukan dan pasien menunjukkan tanda-tanda perbaikan maka dapat dilakukan survei sekunder yakni anamnesis pasien dengan lengkap dan evaluasi ulang pasien. Pemberian obat inotropic juga dapat membantu bila terapi cairan telah diberikan.